Dalam masyarakat Tengger di desa Ngadisari lebih dikenal istilah kawin dibandingkan nikah seperti yang terdapat pada umat muslim yang cenderung menyebut perkawinan dengan istilah nikah.
Masyarakat Tengger sistem perkawinannya bersifat eksogami, yang berarti masyarakat tidak melarang untuk menikah dengan masyarakat luar Tengger atau daerah lainnya. Seseorang bebas untuk memilih sendiri jodoh yang mereka suka dari mana pun. Akan tetapi masyarakat Tengger yang memilih jodoh dari daerah lain, harus memilih untuk tetap berada di daerah Tengger atau memilih keluar dari masyarakat tengger. Mereka yang memilih keluar dari masyarakat tengger dianggap sudah tidak tergabung dalam keanggotaan atau secara otomatis keluar dari masyarakat Tengger.
Masyarakat Tengger mengenal istilah melangkah, yang dikenal sebagai andalarang, yaitu melangkahi saudara sendiri untuk melakukan perkawinan. Menurut mereka apabila seseorang dilangkahi oleh adiknya untuk melakukan perkawinan dianggap pamali, kecuali apabila adiknya itu perempuan dan kakaknya bukan perempuan.
Pada masyarakat Tengger tidak adanya larangan untuk menikah dengan beda agama atau agama lain. Masalah pernikahan masyarakat Tengger sudah terbuka apalagi dalam masalah pernikahan yang beda agama. Pernikahan beda agama sudah dianggap wajar oleh masyarakat Tengger. Karena banyak orang yang melakukan pernikahan beda agama di dalam masyarakatnya. Seperti contohnya penduduk desa Ngadisari yang mayoritas beragama Hindu menikah dengan penduduk desa Sukapura yang mayoritas beragama Islam. Akan tetapi calon mempelai yang akan menikah harus memilih agama mana yang akan dipeluknya dan memilih ritual mana yang digunakan sesuai dengan apa yang dipilih oleh kedua calon mempelai.
Sedangkan pada prosesi perkawinan masyarakat Tengger tidak jauh berbeda dengan perkawinan masyarakat Jawa pada umumnya. Pada masyarakat Tengger juga mengenal lamaran yang dilakukan sebelum perkawinan yang melibatkan orang tua kedua mempelai untuk menentukan hari pernikahan. Persiapan atau lain-lainnya. Akan tetapi pada masyarakat Tengger lamaran dilakukan mendekati hari perkawinan, tidak terlalu lama untuk menunggu-nunggu dimaksudkan agar ikatan yang sudah terjadi tidak putus, atau di masa mendatang tidak terjadi perkawinan yang seperti telah direncanakan sebelumnya. Yang membedakan perkawinan masyarakat Jawa dan masyarakat Tengger hanya pada prosesi seperti siraman yang dilakukan masyarakat Jawa sebelum dilakukan akad nikah atau puasa yang dilakukan mempelai wanita yang lebih dikenal sebagai mutih, itu pun tidak dilakukan oleh masyarakat Tengger. Pada masyarakat Tengger perkawinan dibagi menjadi 4 macam:
1. Lamaran
2. Pawiwahan (ijab qabul)
3. Walagara (temu manten)
4. Pengundangan para kerabat dan leluhur
Selain itu terdapat perbedaan istilah dalam agama islam dikenal dengan istilah Ijab Qabul, tetapi dalam masyarakat Tengger yang mayoritas agama Hindu lebih dikenal sebagai Pawiwahan. Sama halnya dengan agama islam, apabila seseorang kawin maka akan dibacakan semacam doa atau mantra dalam bahasa jawa oleh pandita dukun ( sebutan bagi pemimpin pernikahan ) dalam agama islam disebut sebagai penghulu, yang kemudian diikuti oleh mempelai laki-laki.
Secara umum, masyarakat Tengger tidak menggunakan mas kawin dalam perkawinan ( tidak dilembagakan ), namun secara pribadi mas kawin tersebut ada, seperti emas atau sapi. Tetapi dalam pawiwahan tidak disebutkan mas kawin tersebut, mas kawin yang diberikan juga cenderung berhubungan dengan harta benda. Masyarakat Tengger menggunakan istilah mas kawin dengan sebutan ”sri kawin”, yaitu merupakan bentuk tanggung jawab kedua pelah pihak sampai akhir hayat. ”sri kawin kalih ringgit arto perak utang” jadi secara lahir batin masyarakat Tengger yang kawin mempunyai tanggung jawab yang tidak dapat dibayar lunas atau kontan. Ini menyebabkan masyarakat mempunyai utang tanggung jawab yang tidak dapat dilunasi sampai kapan pun. Filosofinya agar kedua mempelai menjadi keluarga yang tetap dan selalu terjaga.
Setelah dilakukan upacara pernikahan biasanya kedua pengantin, diarak oleh masyarakat yang diringi oleh gamelan. Masyarakat Tengger menyebutnya upacara ngarak.
Perceraian jarang terjadi dalam masyarakat Tengger. Hal ini mungkin karena adanya istilah ”sri kawin kalih ringgit arto perak utang”. Yang dijelaskan diatas bahwa sampai kapan pun utang tanggung jawab tidak dapat dilunasi sampai akhir hayat. Hal ini pula yang menyebabkan masyarakat Tengger tidak melakukan Poligami.
Dalam acara perkawinan masyarakat Tengger menggunakan pakaian adat masyarakat Tengger yangb disebut dengan ”Basahan Hitam”. Untuk mempelai laki-laki menggunakan semacam ikat kepala yang disebut udeng. Model ikat kepala yang digunakan masyarakat Tengger diikat dibagian belakang, berbeda dengan masyarakat Bali yang diikat didepan padahal menurut sejarah masih saudara dengan masyarakat Tengger ( sama-sama nenek moyang dan keturunan dari kejaraan majapahit ). Sedangkan busana yang dipakai berwarna hitam. Untuk mempelai wanita masyarakat Tengger menggunakan kebaya hitam dan jarit.
Terdapat filosofi tersendiri mengenai warna pakaian adat perkawinan dalam perkawinan masyarakat Tengger yang berwarna hitam. Masyarakat Tengger mengartikan warna hitam sebagai ketenangan, kedamaian, ”anteng”.
Pola menetap masyarakat tengger setelah perkawinan dapat dikatakan fleksibel, tidak ada ketentuan yang mengikat apakah seorang wanita yang kawin harus mengikuti suami, baik menempati rumah baru atau tinggal di rumah mertuanya ataupun sebaliknya. Pola menetap yang dilakukan suami istri tersebut sesuai kesepakatan yang diambil oleh masing-masing pihak.
Ada istilah pola menetap dalam perkawinan masyarakat Tengger di desa Ngadisari:
o Ngeduten : apabila pihak laki-laki setelah menikah tinggal ditempat pihak wanita.
o Digawa : apabila pihak wanita setelah menikah tinggal ditempat pihak laki-laki.
Proses perkawinan umumnya diadakan di rumah yang mempunyai hajat ( rumah masing-masing penduduk ). Rumah yang di dekor atau di kwade merupakan istilah dekorai dalam perkawinan masyarakat Tengger di desa Ngadisari.
Perkawinan dalam masyarakat Tengger digolongkan menjadi 2:
o Hajat Besar : Apabila acara perkawinan yang diadakan besar-besaran dengan menampilkan berbagai pertunjukan seperti tayuban. Tamu yang di undang memberi sumbangan berupa uang. Hajatan yang dilakukan selama 2 hari 2 malam.
o Hajat kecil : Suatu acara perkawinan apabila acara perkawinan itu sendiri diadakan dengan sederhana atau kecil-kecilan saja. Dalam acara perkawinan ini setiap tamu undangan memberikan sumbangan, istilah disana (nyumbang) dalam bentuk barang. Misal, beras, gula, mie instan dan sembako lainnya.
1 komentar:
Menarik,,mengangkat kearifan lokal...
Posting Komentar